Tuesday, December 25, 2012

Pengakuan


Malam ini sama seperti biasanya. Aku terduduk diam menatap jauh ke arahmu. Tak pernah sebelumnya aku melihatmu menari, bersinar seindah ini. Setidaknya setelah malam itu, hari dimana kau dan aku tak lagi saling berbagi cerita. Hari dimana aku mulai sibuk dengan setumpuk sampah dimejaku. Ya, karena merekalah aku mulai melupakan kehadiranmu.
Setiap malam sebelum tikus-tikus itu memberikanku setumpuk sampah ini, aku selalu menemanimu. Bercerita tentang hari-hari yang aku lewati. Kau selalu ada ketika aku tak bisa mencari sesuap nasi untuk mengganjal perut ini. kau selalu berbinar walaupun terkadang aku melihatmu bersedih dan memutuskan untuk pergi agar aku tidak merasa dikasihani olehmu.
Maaf selama ini aku melupakan kehadiranmu, yang selama bertahun-tahun ada menemaniku. Maaf apabila aku tidak lagi mau, bukan aku tidak lagi bisa menemuimu disetiap malam yang telah kulalui. Aku tahu, aku tidak lebih dari seorang bajingan yang melupakan kekasihnya demi wanita lain. Aku tahu kau sebenarnya masih memiliki banyak pekerjaan yang tidak bisa kau tinggalkan. Tapi, malam ini aku kembali menemuimu. Meski bukan lagi seperti aku yang dulu sering berbagi denganmu.
Aku bukanlah lagi seorang pria bernurani seperti yang kau kenal dulu. Atau bahkan aku bukanlah pria yang berani menatap dan menghadapi masalah yang ada di depanku. Kaulah satu-satunya yang tahu bagaimana aku yang dulu. Aku yang bukan pengecut seperti sekarang ini.
Ya seiring berjalannya waktu, saat ini aku telah memutuskan untuk berhadapan lagi denganmu. Mengakui semua kesalahanku, meminta maaf padamu karena selama ini aku tidak lagi pernah mempedulikanmu, mempedulikan semua perkataanmu, wanti-wanti darimu yang selama ini hanya aku dengar tanpa sedikitpun aku resapi.
Sekali lagi maaf, aku hadir dengan keadaan yang berbeda. Aku malu menemuimu lagi, karena kini aku sudah tak seperti dulu. Tubuhku yang hanya terdiri dari tulang yang berbalut kulit, kulitku yang kini kering. Bahkan rambutku yang kini tak lagi tertata. Maaf-maafkan aku. Aku seharusnya tak seperti ini.
Tolong, sampaikan maafku juga pada ibu, karena aku tidak lagi memberikan kabar tentang keadaan ku saat ini. Aku tahu, ibu pasti mau mendengarmu. Bukan aku yang selama hidupnya tak peduli lagi dengannya. Bahkan ketika dihari ia dimakamkan aku sibuk bermain dengan kelinci-kelinci liar yang hanya memanfaatkan ku, menjerumuskan ku hingga akhirnya aku berubah menjadi seperti ini. seperti seekor kucing yang hidup dijalanan dan hanya mengais dari sisa-sisa sampah orang lain.
Aku menatap ke langit malam saat itu sejenak dan bisa kubayangkan betapa murkanya engkau ketika mengetahui apa yang kuperbuat. Bahkan kau sudah mengetahuinya jauh sebelum aku memberitahumu.
Bahkan saaat ini aku masih belum bisa menyadari apa yang merasuki tubuhku dulu. Mempengaruhiku dengan berbagai macam ajaran yang tak ada dalam kamus hidupku dulu. Tuhan, aku memohon padamu maafkan aku.
Saat ini tiba saatnya, aku tau kau tak bisa memaafkan ku. Bahkan aku tahu tak seharusnya aku begini. Bersimpuh dihadapanmu setelah kulupakan kau selama bertahun-tahun. Tapi, dulu ibu pernah bilang bahwa kau akan memaafkan umatmu apabila ia mau bertobat. Inilah saatnya Tuhan maafkan aku, hukumlah aku seberat mungkin. Maaf jika dulu aku lalai dan melupakanmu.
Mulai detik ini aku akan hadir lagi, berbagi cerita lagi seperti dulu.

Saturday, December 22, 2012

SMA dan Kuliah Jauh Berbeda

Entah mengapa hari ini saya ingin menulis, katakanlah bercerita tentang masa lalu. Hal-hal yang pernah terjadi pada saya ketika SMA dulu. Orang bilang masa SMA itu masa-masa yang tidak bisa terlupakan. Saya juga berharap demikian. Iya saya mungkin sedikit setuju dengan pernyataan itu, tapi tidak 100% sebenarnya. Ada bagian dari kehidupan SMA saya yang rasanya ingin saya hapus, atau berharap tidak mengalami hal-hal semacam itu.
Sekedar informasi, saya bukanlah tipe anak eksis yang temannya bersebaran dimana-mana, hingga tidak bisa membedakan mana yang sungguh-sungguh siapa yang pura-pura. Saya hanyalah seorang anak yang aktif diekskul seni rupa jadi tidak terlalu terdengar gemanya, ya hanya saat saya lolos kompetisi nama saya terdengar. Selain itu tidak. Kesempatan jadi anak eksis yang ikut berbagai kepanitiaan memang ada, tapi saya malas seperti itu. Inilah saya, seorang pelajar yang tidak peduli popularitas, karena menurut saya hidup dengan popularitas tidak selamanya akan membantu saya waktu itu. Sekedar agar dikenal banyak orang.
Setidaknya saya adalah seseorang yang berusaha menjalani kehidupan dengan baik. Banyak teman SMP saya yang satu sekolah dengan saya waktu itu, tapi saya merasa tidak lagi mengenal mereka, mereka sudah berubah. Menjadi orang eksis yang lupa masa lalu. Ya sudah, saya tidak mau memaksakan diri. Dekat-dekat dengan mereka yang sudah makin eksis. Saya tidak mau dianggap numpang eksis, jadi karena saya sudah tidak nyaman mending saya menyingkir. Ini pelajaran pertama saya dibangku SMA saat itu.
Pertama punya pacar juga saat SMA, tapi sumpah persoalan inilah yang paling ingin saya hapus dari kehidupan saya. Sakit hati juga saya rasakan ketika SMA. Biasa, remaja. Labil. Terserahlah yang penting saat ini saya sudah kuliah. Sampai sekarang saya juga belum punya siapa-siapa kok. Bukan saya masih suka dengan pacar sebelumnya, tapi saat ini itu bukan orientasi hidup saya. Jadi nikmati hiidup selagi bisa apa-apalah. 
Masa SMA saya juga menemukan teman-teman yang sangat menyenangkan, anak-anak yang sama malasnya dengan saya. Masih ingat kebodohan jaman SMA, sudah hampir UNAS bukan belajar kami malah melukis sampai sore pula. Ketika ditanya orang tua bilang belajar bareng. Itu benar-benar masa yang selalu saya ingat dan rindukan. Dulu masih bisa jadi anak "selo" main terus walau mau UNAS. Beda dengan sekarang hidup masa kuliah sudah harus lebih bertanggungjawab. Biaya kuliah yang mahal jadi tekanan sendiri untuk saya agar harus menyelesaikan kuliah dengan baik. Karena biaya kuliah menjadi tanggungan orang tua. Saya sering berusaha mencari beasiswa, tapi maaf buk saya bukan anak pintar yang mudah dapat beasiswa jadi saya mohon maaf.
Yang jelas saat ini saya rindu teman-teman baik masa SMA dulu, bukan berarti saat ini saya tidak punya teman yang baik, tapi hanya rindu saja masa lalu. Kuliah ini lingkungan saya semakin sulit dipahami, terlalu banyak orang yang berbeda jauh dengan saya. Tapi untung saya masih punya teman. Saya tidak menjadi orang aneh yang berusaha terlihat modis tapi salah kostum. Saya tidak mau menjadi bahan tertawaan orang-orang karena memakai baju merah, celana merah, tas merah, dan sepatu merah. Seperti teman saya yang sedikit tersingkir karena memang jujur saja dia aneh bahkan dimata saya. Kuliah menjadi tempat pertarungan yang keras memang. tapi saya tetap ingin jadi diri saya yang apa adanya seperti saat ini. 
Ini saja yang mau saya tulis, kalau memang ada yang tersinggung maaf. Ini memang kenyataan yang terjadi disekitar saya,

Wednesday, December 19, 2012

Proses Belajar

Ketika kita membuka mata pada pagi hari, sama artinya dengan membuka lembar baru pada kehidupan kita. Banyak orang mengatakan hidup itu lihat ke depan atau tutup lembaran lama buka lembaran baru. Apa yang ada pikiran saya sedikit berbeda dengan ungkapan-ungkapan semacam ini.
Kata-kata yang lebih tepat itu bukan menutup lembaran lama, karena ketika kita menutup lembaran lama atau bisa kita katakan mencoba melupakan apa yang telah kita lakukan sebelumnya keadaan akan menjadi lebih buruk. Mengapa? Karena suatu saat mungkin saja kita melakukan kesalahan yang sama, tidak ada orang yang ingin jatuh dilubang yang sama bukan?
Menurut saya akan lebih tepat jika kita menyimpan lembaran-lembaran lama. Bayangkan saja seperti menyimpan novel atau komik-komik yang sudah kita baca. Bukan, bukan untuk dibuka berkali-kali. Kenangan masa lalu bisa jadi pelajaran yang berarti, atau sekedar renungan agar kita tidak akan mengulanginya lagi. 
Masalah lihat ke depan juga tidak ada bedanya. Ketika kita menaiki sebuah kendaraan tentu kita perlu memeriksa apa-apa saja yang ada di belakang kita bukan? agar tidak terjadi kecelakaan atau semacamnya. Sama dengan proses kehidupan melihat ke belakan akan mengingatkan betapa bodohnya kita melakukan suatu kesalahan dan berpikir akan lebih bodoh lagi apabila kita mengulanginya. Jadi melihat ke belakang itu tidak ada salahnya. Tapi satu yang perlu kita ingat, ketika kita terus-menerus melihat ke belakang tentu tidak akan bagus. Mengingat masa lalu juga sama tidak baiknya, maka buatlah suatu kesalahan, kenangan masa lalu, atau hal-hal semacamnya sebagai proses belajar, proses pendewasaan diri. 

Thursday, December 13, 2012

Jangan Haramkan Mimpi

bukan berarti orang yang tidak punya keahlian atau bakat apa-apa haram untuk bermimpikan? semua orang berhak bermimpikan? kalau memang orang yang tidak berbakat dibidang apapun dilarang bermimpi, untuk apa hidup lagi. mimpi menjadi salah satu jalan motivasi bagi tiap orang untuk melatih diri dan belajar. kalau mimpi saja tidak boleh, bagaimana saya, atau orang-orang lain di luar sana bisa belajar? bisa termotivasi? mimpi menjadi satu jalan membangun kepercayaan bahwa segalanya itu mungkin dicapai apabila ada usaha untuk mencapainya. bukan berarti hanya bermimpi. tapi tolong jangan larang saya untuk bermimpi. itu bisa menjadi jalan untuk saya, percaya dan berusaha mencapai suatu hal.

Dibandingkan, Siapa yang Mau

Saya tidak suka dibandingkan. Siapa yang suka dibandingkan? Saya tidak bisa menjadi orang lain. Saya ya saya. Mau bagaimana ke depannya nanti tergantung usaha saya. Tapi saya tidak mau jadi Orang lain. Saya mau jadi saya yang apa adanya seperti ini. Saya mau meraih sesuatu karena usaha saya, tapi saya tetap tidak mau jadi seperti orang lain.
Saya akan berusaha menjadi lebih baik. Tenang saja, itu pasti. Karena saat ini saya juga terus berusaha. Tidak berhenti sama sekali. Pernah bapak bertanya apa mau saya? memang pernah tapi tidak sering to? setidaknya beri saya kesempatan untuk beropini. Saya janji saya akan menjadi anak yang lebih baik. Tapi tidak seperti anak bapak yang A atau yang B bahkan yang C. Saya cuman mau jadi dirir saya sendiri, dengan kelebihan dan kekurangan yang saya miliki. Saya juga tidak pernah menutut banyak hal dari bapak. saya hanya ingin satu hal, biarkan saya mencari jalan saya sendiri untuk meraih sesuatu yang baik untuk saya. Bukan jalan orang lain, bukan jalan anak teman bapak.

Wednesday, December 12, 2012

Rencana, Baru Rencana, Bebas

Setiap orang pasti punya rencana, sesuatu yang ingin dicapai atau dilaksanakan. Saya juga punya. Hari ini saya berencana ingin membuka mata. Melihat segala sesuatu yang ada di sekeliling saya dengan perspektif baru. Melihat orang-orang atau bahkan "teman" dengan sudut yang berbeda.
Tetapi tidak jadi, ah malas. Buat apa? Saya untung? Buat apa saya merubah perspektif saya? yang lain saja tidak mau berubah. Yang lain tidak mau terbuka, melihat segala hal dengan perspektif baru. Yang lain tidak mau membuka diri ataupun berkesempatan untuk melihat saya. Terus apa gunanya sekarang?
Bukan saya mau pamrih, manusiawi kita ingin sesuatu yang bisa dibilang timbal balik. Tapi itu juga bisa jadi hak saya, hak saya untuk menunjukkan siapa saya. Tapi kalaupun saya unjuk gigi tidak ada yang peduli, tidak ada yang mau membuka mata untuk orang seperti saya!
Perubahan, orang ingin berubah, itu bukan keharusankan? Itu hak setiap orang. Terserah dia mau apa itu hidupnya. Begitu pendapat anda? Ya sudah, saya juga begitu. Berubah hak saya. Kalau saya tidak mau berubah berarti bebas-bebas saja to? Toh tak ada yang peduli. Saya menulis disini? Karena tak ada yang mau dengar, tak ada yang mau peduli dengan kaum minoritas. Tak jauh beda dengan antek-antek pemerintah. Apatis! Tidak mau lihat sekitar. 

Tuesday, December 11, 2012

Resensi Film Bycycle Thieves (1948)


Ladri di Biciclette atau dikenal dengan Bicycle Thieves merupakan film klasik Italia yang diproduksi pada tahun 1948 oleh Vittorio de Sica. Film ini sebenarnya menceritakan tentang sebuah pencurian sepeda, sebenarnya tema dari film ini sangatlah ringan dan mudah dicerna oleh masyarakat secara mudah pada saat itu. Salah satu ciri aliran neo-realisme sendiri adalah bagaimana film tersebut menceritakan sesuatu yang dekat dengan kita. Aliran ini mulai berkembang pasca terjadinya perang dunia.
Sineas-sineas yang muncul pada saat itu berusaha untuk sedekat mungkin dengan realita yang ada, dimana mereka mengambil gambar di tempat-tempat umum sehingga gambar yang ada tampak realistis dan tidak dibuat-buat serta mengurangi biaya produksi, menggunakan pemain yang bukan merupakan aktor profesional tentunya dengan tujuan yang sama mengurangi biaya produksi. Pemeran utama dalam film bicycle thieves ini sendiri adalah Lamberto Maggiorani berperan sebagai Ricci, yang sebenarnya adalah seorang buruh pabrik. Selain mengurangi biaya produksi sebenarnya pemeran Ricci yang notabennya merupakan masyarakat sipil yang memang sedang merasakan suatu keadaan yang sama dengan cerita ini dianggap mampu mewakilkan dengan sungguh-sungguh bagaimana perasaan mereka mengenai masalah kehidupan yang sebenarnya, dan karena masih amatir akting polos dari tokoh Ricci memberikan suatu nilai khusus pada penonton yang ada.
Karakter dari film yang memegang teguh konsep neo-realisme adalah bagaimana mereka menggambarkan keadaan kota yang berantakan dikarenakan adanya proses industrialisasi, modernisasi, ataupun pasca terjadinya perang dunia dimana semua orang merasakan suatu kesulitan untuk membangun kehidupan mereka. Selain itu tema cerita biasanya adalah sebuah tragedi yang memang mencerminkan keadaan masyarakat Itali pada masa itu.
Setting merupakan aspek yang penting dalam sebuah film. Setting dalam film ini sendiri seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya adalah mengambil tempat-tempat outdoor atau di luar studio sehingga mampu menghemat pengeluaran, selain itu penggunaan tempat umum memang sangatlah membantu karena tidak diperlukan lagi pengeluaran untuk para pemain figuran. Disatu sisi penggunaan tempat umum ini mampu memberikan gambaran yang sesungguhnya mengenai keadaan dan keseharian masyarakat Italia pada saat itu dengan lebih nyata. Hal menarik lain yang dapat dilihat dari setting film ini sendiri adalah dimana kejadian yang dilalui oleh para tokoh tidak pernah terjadi pada malam hari, rata-rata adegan dilakukan pada siang hari. Waktu yang digunakan dalam film ini juga tidak lama yaitu satu hari ketika sepeda Ricci hilang dan satu hari ketika Ricci mencari sepedanya, dan keduanya terjadi pada saat hari masih terang. Tampak sekali bahwa film dengan konsep neo-realisme berusaha untuk memanfaatkan hal-hal yang ada di sekitar mereka.
Masalah moralitas yang dibahas dalam film ini sendiri adalah dimana dalam kehidupan kita perlu melakukan berbagai pengorbanan untuk mencapai sesuatu, bagaimana kita perlu mengorbankan satu hal untuk hal lainnya. Dalam film ini juga diperlihatkan ketika kita sebagai seorang manusia biasa pasti akan melakukan hal-hal yang terkadang berada diluar akal sehat kita untuk mendapatkan sesuatu ketika ingin mendapatkan suatu hal yang kita raih dengan penuh pengorbanan sehingga kita malah cenderung menjadi buta dan melupakan hal lainnya. Hal ini digambarkan ketika Ricci menjadi tidak mempedulikan keberadaan Bruno sang anak ketika ia sudah fokus mencari sepedanya. Ricci bahkan tidak mengetahui ketika sang anak terjatuh ataupun hampir tertabrak mobil karena ingin mengikutinya. Selain itu dalam film ini diperlihatkan bagaimana ketika seorang manusia menghadapi suatu keputusasaan dan akhirnya berpikir yang tidak-tidak dan melakukan hal-hal bodoh yang malah merugikan dirinya sendiri.
Pada masanya film ini dianggap sebagai film yang penting dan unik karena film ini memberikan cahaya baru dalam perfilman Italia pada masa itu, selain itu film ini dianggap benar-benar menggambarkan kehidupan masyarakat sipil pasca perang dunia dengan berbagai intriknya selain itu film ini sebenarnya ada untuk menentang film-film lain yang banyak menunjukkan kehidupan mewah kalangan-kalangan tertentu. Sehingga film ini dapat menunjukkan bahwa sebenarnya di atas kehidupan kalangan borjuis yang ada pada saat itu masih terdapat masyarakat yang kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan sekedar untuk memenuhi kebutuhan primernya. Film ini juga menjadi pelopor tumbuhnya film-film beraliran neo-realisme di Italia dan juga negara-negara lainnya. 

Bukan Sekedar Curhat, Sekedar Opini atau Isi Hati Lebih Tepatnya

Saya memang belum pernah ada pada posisi anda saat ini, dan saya tahu itu bahkan saya sudah paham benar mengenai hal itu. Satu hal yang membuat saya sedikit jijik dengan anda, cara anda memandang saya dan menyampaikan pesan tersebut "Kamu nggak pernah ngerasain soalnya." lima kata yang membuat saya sedikit tersentak. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya tahu saya bukan dari kalangan yang eksistensinya tinggi di Kampus atau juga bukan seorang yang aktif diberbagai kepanitiaan. SAYA TAHU JELAS SOAL ITU. Tapi perlu anda tahu, anda tidaak sepantasnya merendahkan orang lain seperti itu. 
Bukan, saya bukan iri dengan posisi yang anda miliki saat ini. Bahkan perlu anda tahu, saya kasihan melihat anda yang berada dalam posisi dimanfaatkan oleh orang lain. Tujuan saya hanya ingin membantu menenangkan, memberi sedikit masukan pada anda. Mungkin memang bukan kapasitas saya untuk ikut campur, tapi saya hanya seorang teman yang masih peduli dengan posisi anda yang saat ini ditekan, dicambuk oleh para tetua. Kalau anda memang tidak berkenan, ya saya hanya ingin minta maaf. 
Jika anda memang kurang berkenan dengan apa yang saya lakukan, baiklah saya akan berhenti beropini, saya akan berhenti peduli dan membantu kalau memang itu yang anda inginkan. Saya tahu saya memang bukan orang yang banyak didengarkan orang lain, terkadang opini saya hanya dianggap sebagai angin lalu tak jauh berbeda dengan kentut yang hanya akan disadari ketika ada efek samping yang dihasilkan.  
Ini cuman opini, ini negara demokratis saya cuman mau menuliskan apa yang ada dipikiran saya. Bebas namanya juga opini. Keberatan? Ini tempat berbagi. Saya bebas mau menulis apa. Sekali lagi maaf jika memang tidak berkenan, ini hanya pendapat saja. Pendapat orang yang kurang didengar seperti saya.

Monday, December 10, 2012

Resensi Film "Tanda Tanya (?)"


“Tanda Tanya (?)” adalah sebuah film garapan Hanung Bramantyo yang ingin menceritakan tentang multikulturalisme yang ada di sebuah daerah, hal ini bertujuan untuk merepresentasikan Indonesia yang kita tahu sangatlah multikultural. Menurut saya, Hanung Bramantyo sebagai seorang sutradara sangatlah berani dalam mengangkat isu-isu sensitif semacam ini, karena menurut saya tema ini bisa dikatakan sangat kontrovesial dan dapat menarik berbagai macam respon dari masyarakat.  Film ini pertama kali ditayangkan pada tahun 2011 dan ditulis oleh Titien Wattimena.
Film ini bercerita mengenai kehidupan bermasyarakat yang ada disebuah daerah. Disana terdapat sebuah restoran cina, diceritakan disini bahwa pemilik restoran Tan Kat Sun sangatlah menghargai perbedaan yang ada. Sebagai seorang pemilik restoran cina ia memisahkan alat-alat yang ia gunakan untuk memasak, dengan memberi tanda mana peralatan yang khusus digunakan untuk memasak daging babi. Selain itu ia juga memberikan waktu untuk pegawainya ketika adzan telah berkumandang, untuk beribadah. Berbeda dengan Tan Kat Sun, Ping Hen yang merupakan anak Tan Kat Sun sering terlibat pertengkaran dengan orang-orang yang ada di kampungnya tersebut. Ping Hen dan beberapa remaja muslim yang ada sering terlibat percekcokan perihal ciri fisik dan juga isu yang ada tentang agama islam.
Selain cerita mengenai Tan Kat Sun yang sangatlah menghargai perbedaan, masih banyak pergolakan yang melibatkan masalah agama di dalam film ini. Seperti halnya kisah mengenai Rika, yang merupakan penganut agama katholik. Sebelumnya ia beragama islam, semenjak bercerai dengan suaminya ia memutuskan untuk berpindah ke agama katholik yang menurutnya memberikan janji yang ia inginkan. Dengan keputusannya Rika dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Ia dianggap menyelewengkan agamanya dan bahkan sang anak sempat merasa tidak nyaman lagi dengannya. Cerita lain, tentang Surya yang telah sekian lama ingin menjadi aktor namun hanya menjadi pemain figuran. Masalah datang ketika ia diterima menjadi seorang pemain dalam sebuah drama yang diadakan oleh sebuah gereja dan ia harus memerankan tokoh Yesus dalam drama tersebut. Pergolakan hatipun datang dan menyerang Surya disini, ia sempat takut dianggap murtad atau kafir oleh orang di sekitarnya.
Ada lagi cerita mengenai Menuk yang bekerja di restoran milik Tan Kat Sun. Sholeh suami Menuk merasa turun derajatnya karena tidak memiliki pekerjaan, dan Menuk harus menjadi tulang punggung keluarga. Disini Sholeh merasa harga dirinya dipertaruhkan sebagai seorang suami, padahal pada kenyataannya Menuk tidak pernah memandang Sholeh seperti itu, ia tetap menganggap dan menghargai Sholeh sebagai suaminya.
Yang ingin saya bicarakan disini bukan hanya mengenai cerita dari film “Tanda Tanya” ini, namun lebih kepada pesan ataupun isi dari film ini. Menurut saya film ini ingin menceritakan mengenai sebuah kekompleksifitasan hidup, dimana kita sebagai seorang individu harus menyesuaikan diri dengan orang lain karena kita hidup bersama dalam satu lingkungan.  Keberagaman dan toleransi yang seharusnya ada dan berjalan secara beriringan dalam masyarakat multikultural, baik secara suku bangsa maupun agama. Film ini ingin menggambarkan suatu realita yang sebenarnya masih banyak terjadi dikalangan masyarakat di Indonesia, entah diskriminasi mengenai agama ataupun suku.
Dalam tema besar multikulturalisme ini sendiri, film ini juga ingin memperlihatkan bagaimana seseorang ketika harus dihadapkan pada sebuah pilihan. Pilihan yang ada bukan sekedar permasalahan benar atau salah, tapi bagaimana kita sebagai individu yang memilih harus bertanggungjawab dengan pilihan tersebut. Hal ini digambarkan melalui tokoh Rika, ketika ia menerima hujatan dari berbagai arah, ia tetap berusaha mempertanggungjawabkan pilihannya, bagaimana ia mempercayai pilihannya dan mencoba membuktikan bahwa apa yang ia percayai itu memang yang paling sesuai dengan hatinya. Selain itu film ini juga ingin menyampaikan bahwa menyerah akan suatu keadaan tidak akan menyelesaikan masalah, ketika tidak ada usaha apa yang kita inginkan tidak akan membuahkan hasil. Seorang manusia haruslah menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Membuka lembaran baru pada kehidupan kita juga sangat diperlukan, agar kita mau berkembang.
Kembali ke masalah multikulturalisme, film ini menggambarkan bagaimana seseorang harusnya melihat dunia dengan kacamata yang berbeda. Yang saya maksudkan disini adalah dalam kehidupan bermasyarakat kita harus menghargai perbedaan yang ada, karena perbedaan itu sendirilah yang memberikan kita sebuah pelajaran, agar mau saling bertoleransi. Perbedaan akan memberikan pandangan baru pada kita, maka dari itu hargai perbedaan yang ada di sekitar kita. Kurang lebih film ini ingin menunjukkan nilai-nilai semacam ini.
Film ini memang bisa dikatakan cukup banyak mendapatkan kecaman dari beberapa pihak, namun film ini menurut saya sangatlah apik dalam merangkai cerita dan juga menggambarkan realitas yang sebenarnya memang benar ada di Indonesia. Setidaknya film ini bisa memberikan pandangan baru mengenai bagaimana harusnya kita sebagai masyarakat yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain melihat fenomena multikulturalisme yang ada di sekitar kita.


Resensi Film Charlie Chaplin Modern Times "Penggambaran Modernisasi Milik Kaum Elit Pasca Industrialisasi"

Modern Times adalah salah satu film dari Charlie Chaplin yang diputar pada tahun 1936. Film ini dibuka dengan sebuah jam raksasa yang mengarah ke angka enam. Selanjutnya film ini memasukkan gambar segerombolan domba yang berdempet-dempetan, lalu dibandingkan dengan sekumpulan manusia yang akan berangkat bekerja. Film ini seakan ingin menggambarkan bagaimana manusia pada masa modernisasi saat itu bagaikan sekelompok domba yang hanya mengikuti kemauan tuannya, begitu juga manusia yang saat itu harus bekerja demi memenuhi kebutuhannya.
Modern Times berusaha memperlihatkan bagaimana modernisasi merubah manusia. Manusia dipaksa dan ditekan untuk terus berproduksi, bekerja tanpa henti untuk memperbanyak keuntungan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Menurut saya film ini berusaha untuk menjelaskan bahwa manusia menjadi korban dari ambisi mereka tersendiri, karena sebenarnya modernisasi muncul dari manusia yang menginginkan kehidupan yang lebih dari sebelumnya.
Hal ini digambarkan ketika Chaplin diperintahkan untuk mencoba mesin makan siang yang diciptakan untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi kerja pegawai. Pada awalnya semua tampak sempurna dan bekerja dengan baik, tetapi akhirnya terjadi masalah dengan mesin. Kerusakan pada mesin menyebabkan Chaplin tidak bisa berbuat apa-apa, inilah pesan yang hendak disampaikan yaitu ketika modernisasi malah memperbudak kehidupan manusia.
Modernisasi disini sebenarnya tampak seperti permainan kaum elit saja, tekanan datang dari kaum elit yang berusaha untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Modernisasi memunculkan gejolak tersendiri pada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengangguran dan pemecatan yang terjadi pasca modernisasi, aksi demo terjadi dimana-mana, serta kemiskinan yang menyebabkan banyak orang yang melakukan apapun demi memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti makan.
Dalam film ini Chaplin mengalami berbagai masalah, seperti masuk ke rumah sakit jiwa karena tidak sanggup menghadapi berbagai tekanan di tempatnya bekerja sampai disangka sebagai seorang pemimpin demo hingga ia masuk ke penjara. Sebenarnya kegiatan demo yang dilankukan oleh masyarakat pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kesejahteraan hidup mereka, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Pada saat di penjara, Chaplin tampak lebih bahagia daripada ketika ia berada di luar. Hal tersebut dapat diartikan bahwa sebenarnya menjalankan kehidupan tanpa adanya sebuah proses modernisasi sangatlah menyenangkan untuknya, ketika ia berada di penjara tidak banyak tuntutan yang harus dipenuhinya, bahkan ia tidak perlu susah-susah mencari pekerjaan. Maka ketika masa hukuman Chaplin telah berakhir ia cenderung memaksakan diri untuk tetap berada di dalam penjara bahkan berusaha melakukan hal kriminal agar dapat kembali ke penjara. Peristiwa semacam ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana sebenarnya keadaan seorang individu yang belum siap menghadapi sebuah proses modernisasi.
Penggambaran karakter Chaplin disini sangatlah menarik, ketika ia rela berkorban demi kebahagiaan orang yang ia cintai. Ia berusaha untuk mewujudkan impian wanita yang selalu ada bersamanya dengan melakukan berbagai pekerjaan. Walaupun pada kenyataannya sang tokoh wanitalah yang bisa memberikan rumah sebagai tempat mereka berlindung. Wanita tersebutlah yang pada akhirnya juga mencarikan pekerjaan untuk Chaplin yang saat itu memang sudah tidak tahu harus bekerja dimana setelah berulang kali dipenjara karena kekonyolannya.
Di akhir film ini tampak bahwa Chaplin harus meninggalkan pekerjaannya dengan sang wanita yang dicintainya, karena sang wanita yang memang memiliki banyak masalah akibat tertekan untuk memberikan makanan pada keluarganya hingga ia harus mencuri makanan di kapal. Segala hal harus mereka tinggalkan. Pada saat itu sang tokoh wanita menyerah dengan keadaan yang ada, namun Chaplin berusaha meyakinkan dengan mengatakan “Buck up-never say die. We’ll get a long!” seakan-akan berusaha menyampaikan bahwa apapun yang ada di depan kita, kita harus menghadapinya dengan semangat dan tidak pantang menyerah.
Menurut saya film bisu semacam ini sangatlah menarik, walaupun memang tidak seluruhnya bisu. Film semacam ini menarik karena membutuhkan kefokusan tersendiri untuk memahami isi film tersebut, dan dialog yang ada dalam film ini tidak seluruhnya berupa percakapan tapi lebih ketindakan yang mana menurut saya mampu menyampaikan makna yang lebih dalam. Film in Modern Times ini sendiri menurut saya sangatlah pandai dalam merangkum permasalahan modernisasi ke dalam komedi, walaupun memang banyak tindakan yang sedikit berlebihan seperti adegan dalam mesin yang memang terlihat sangat konyol. Namun perlu kita ketahui memang terkadang kita butuh sesuatu yang konyol sebagai hiburan. Tidak perlu terlalu kritis melihat hal-hal yang demikian.